Selasa, 27 Agustus 2013

Mengapa || Orang SUNDA tak bisa jadi Number One di Negeri ini !!!

KETIKA saya muncul di warung kopi, bangku yang terbuat dari bambu itu ternyata sudah terisi penuh. Karena selain ada Si Akang, pelanggan setia warung kopi itu, ditambah lagi oleh Pak Asep, pensiunan Sekcam (Sekretaris Kecamatan), Pak Eman, mantan guru SD, Ujang Suryana, karyawan KUD, dan Pak Kuwu.
Sebagai orang yang datang belakangan, sebelum memesan segelas kopi saya menyalami mereka terlebih dahulu. Tak lupa bertegur sapa tentang keadaan masing-masing. Kemudian saya menyeret kursi plastik dari dalam warung, dan membersihkan kotorannya sebelum diduduki.
Topik pembicaraan yang sedang diperbincangkan mereka ternyata tentang Pemilukada Propinsi Jawa Barat yang akan digelar tahun 2013 mendatang.
“Kira-kira siapa ya yang bakal berjaya nanti? Apa Ahmad Heryawan, Sang Incumbent, Dede Yusuf, Rieke Oneng, atawa Yance?” tanya Pak Asep.
“Entahlah. Yang jelas rakyat Jawa Barat sepertinya ikut terkena sihir Jokowi juga sekarang ini. Mereka ikut terpesona seperti warga Jakarta…” sahut Pak Eman.
“Tapi saya yakin… Haqqul yaqin. Tidak bakalan ada Joko Widodo di Jawa Barat ini… “ Si Akang memotong kalimat Pak Eman.
“Lho siapa tahu ada sosok bakal calon yang memiliki karakter seperti Jokowi itu di Jawa Barat ini…”
“Jelaslah tidak bakal ada, Pak. Yang ada ya Jaka Widara , atawa Jaka Wijana. Urang Sunda tidak akrab dengan ahiran huruf O ‘kan?”
Semua orangpun tergelak.
“Tapi ngomong-ngomong, mengapa ya urang Sunda sampai sekarang belum pernah ada yang jadi RI satu. Padahal urang Sunda ini paling dekat ke pusat pemerintahan. Malahan menurut kabar, urang Sunda ini termasuk dua besar jumlahnya. Paling banter hanya menduduki posisi RI dua saja. Itupun baru sekali saja, yaitu Jenderal Umar Wirahadikusumah di era Orde Baru dulu. Demikian juga dalam jabatan di militer maupun Polri. Selalu saja kalah sama Wong Jowo. Heran saya. Padahal potensi untuk menduduki posisi nomor satu tampaknya banyak juga. seperti kemarin dulu saja, Jenderal Nanan Sukarna malah disalip sama Jenderal Timur Pradopo…” Ujang Suryana mengalihkan topik obrolan ke arah yang lebih tinggi.
“Itulah masalahnya. Mitos huruf O sampai sekarang masih dominan menguasai negeri ini, “ kata Pak Eman. “Selain itu meskipun kita bertetangga dengan Wong Jowo, urang Sunda memiliki kelemahan dari orang Jawa sana. Kalau urang Sunda ada yang sukses dalam kehidupannya, mereka seringkali terkena penyakit adigung-adiguna, atawa sombong. Sehingga membuat dia melupakan purwadaksi-nya (Asal-usulnya). Jangankan kepada orang lain, terhadap sanak-saudara pun dia (Maksudnya orang yang telah sukses dalam hidupnya itu) bersikap seperti raja kepada abdi dalemnya saja…Maunya dilayani. Malahan kadang-kadang  sulit memberi bantuan kepada sanak –saudara yang masih membutuhkan uluran tangan orang lain…”
“Sementara Wong Jowo, memiliki budaya mudah berkumpul. Contohnya saja ormas NU berdiri dan besarnya di Jawa Timur. Lalu menyebar ke daerah lain. Demikian juga Muhammadiyah, dan Persis. Mana di Tatar Sunda ada yang seperti itu. Maka jangan heran kalau pucuk pimpinan di republik inipun dikuasai mereka…”
“Wah, Pak Eman ini malah menjelek-jelekan diri sendiri, menghina urang Sunda sama saja menghina karuhun kita…” kata Si Akang sengit.
“Suka maupun tidak, kenyataannya tokh begitu. Atau kalau jangan disebut terlalu ekstrim seperti itu, ya sudahlah alasannya karena urang Sunda mah punya watak seperti Si Kabayan saja. Puas?”
“Maksudnya?” timpal Ujang Suryana.
“Suka bercanda, sederhana, dan tidak ambisius… Hehehe…” sahut Pak Eman sambil menghirup kopinya.
“Lalu kalau masalah calon Gubernur bagaimana?” tanya Si Akang
“Yah sudahlah cari saja sosok  seperti Si Kabayan…”
Kembali semua orang tergelak…
Dasar.
Memang dasar urang Sunda mah suka bercanda…***

Catatan Perjalanan | Main Blog: Mbah Kuwu Sangkan | Cirebon

Catatan Perjalanan | Main Blog: Mbah Kuwu Sangkan | Cirebon: Pangeran Cakra Buana menjadi penasehat utama. Oleh masyarakat Cerbon, beliau masih dianggap sebagai kuwu sepuh, dan dikenal dengan nama Mbah...

Raden Walangsungsang



Gambar diunduh dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSXHY9RPjyS4EkJ958n5KlDAQ0I6Ex4eYZufrSWKaS1a7mTm0c2PpuSngonnmOLWi0SbYxYb1wSd3UzLWUmcj_Pzc3HDKlwO0wcV4f34KMesrEUpJuUYaJhrdr8NCsNRvcGAt51TUEOrtT/s1600/SAMPUL.jpg pada http://gandigrap.blogspot.com/2012/04/caruban-nagari-pangeran-cakabuana.html
Terlahir dengan nama [Raden] Walangsungsang, anak sulung dari tiga bersaudara beserta [Nyi Dewi] Rara Santang atau Lara Santang (Yang kelak bernama Hj. Syarifah Muda’im, setelah ibadah Haji), dan [Raja] Sangara (Yang juga dikenal dengan nama Kian Santang).

Ayahnya adalah Raden Pamanah Rasa, pewaris tahta Pajajaran (Kerajaan Galuh Pakuwuan), yang kelak dikenal dengan dengan nama Prabu Siliwangi. Raden Pamanah Rasa adalah anak dari Prabu Anggalarang, Raja Kerajaan Galuh.

Ibunya bernama Nyi Subanglarang anak dari Syekh Quro (Kerawang). Syekh Quro atau Syekh Hasannudin adalah pemimpin (Kyai) pesantren Quro sekaligus pemimpin di wilayah pelabuhan Kerawang (Qurotul ‘Ain) bergelar Mangkubumi Jumajan Jati. Ternyata, dalam penelusuran berikutnya, Syekh Quro adalah juga seorang raja dari negeri seberang (Kemlaka atau Champa), yang meninggalkan tahta dan keluarganya untuk bertapa. Tempatnya bertapa kemudian diberi nama Nagari Singapura (Martasinga atau Mertasinga), yang menjadi bawahan Kerajaan Galuh. Di sana, beliau dikenal dengan nama Ki Gede[ng] Tapa, tanpa ada yang tahu asal-usul atau nama aslinya. Bertemu kembali dengan puterinya Subanglarang, yang terlahir dengan nama Subang Keranjang, saat puterinya hendak memperdalam agama islam di Pesantren Quro, yang dipimpinnya. (Dalam suatu kisah, diceritakan Syekh Quro mendarat di Kerawang bersama armada ekspedisi Laksamana Muhammad Cheng Ho atau Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong. Tapi dalam versi lain, mengatakan bahwa Syekh Quro dan Ki Gede Tapa adalah orang yang berbeda.)

Sebelum menikah dengan Subanglarang atau Subang Keranjang, Raden Pamanah Rasa telah menikahi sepupunya Nyi Ambet Kasih, putri dari Ki Gedeng Sedhang Kasih atau Ki Gede Sindang Kasih (pemimpin Negeri Surantaka, tetangga Negeri Singapura, yang juga bawahan Kerajaan Galuh. Versi lain mengatakan bahwa Galuh-lah bawahan Sindang Kasih). Ki Gede Sindang Kasih adalah adik dari Prabu Anggalarang. (Dalam suatu legenda, diceritakan bahwa Prabu Anggalarang pernah berkelana sebagai kera, yang dikenal dengan Lutung Kasarung, dan bertemu Puteri Purba Sari, yang kemudian menjadi permaisurinya.)



Ki Samadullah


Dalam pengembaraan spiritualnya, Walangsungsang singgah di rumah Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Beberapa hari kemudian datanglah Rara Santang, yang juga meninggalkan keraton, untuk mencari kakaknya. Saking gembiranya bertemu sang adik, Walangsungsang memeluk dan mencium adiknya. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi Nyi Indang Geulis, puteri dari Ki Danuwarsih. Ki Danuwarsih sendiri melihat gelagat puterinya, dan merestui puterinya dinikahi Walangsungsang.

Bersama istri dan adiknya, Walangsungsang melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian bermukim di tempat Syekh Datuk Kahfi untuk memperdalam agama Islam. Di sana, Walangsungsang diberi nama Ki Samadullah. Syekh Datuk Kahfi atau dikenal juga dengan nama Syekh Idhopi, adalah penerus kepemimpinan pesantren Amparan Jati di Gunung Jati, menggantikan pemimpin pesantren sebelumnya bernama Syekh Nur Jati.



Mbah Kuwu Cirebon


Atas anjuran gurunya, Walangsungsang menemui Ki Gedeng Alang-alang (Ki Gede Pengalang-alang) untuk membuka daerah baru. Walangsungsang mendirikan Masjid Yang bernama Sang Tajug Jalagrahan, sebagai symbol pusat keagamaan, kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Pejalagrahan. Daerah yang baru dibuka ini awalnya bernama Tegal Alang-alang, kemudian dikenal juga dengan sebutan Kebon Pesisir, yang kelak dikenal sebagai pelabuhan Muara Jati. Lalu memindahkan pusat pemukiman ke pedukuhan Lemah Wungkuk. Dalam perkembangan berikutnya, dukuh Lemah Wungkuk menjadi sebuah kota, dengan dukuh atau kampung lain di sekitarnya, dan diberi nama kota Cirebon atau Grage. Walangsungsang dan Ki Gede Pengalang-alang adalah dwitunggal yang tak terpisahkan. Ki Gede Pengalang-alang mendapat sebutan Kuwu Cirebon I, sedangkan Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon II. Dalam perkembangan berikutnya, Kuwu Cirebon II dikenal sebagai Mbah Kuwu Cirebon.

Hari jadi kota Cirebon ditandai pada tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Tapi tak jelas benar, apakah itu pada saat membuka wilayah Tegal Alang-alang (Pelabuhan Muara Jati), saat pemindahan pusat pemukiman ke dukuh Lemah Wungkuk, atau saat mendirikan kota Kerajaan (Cirebon).



H. Abdullah Iman


Atas anjuran gurunya pula, Walangsungsang dan Rara Santang pergi ke Tanah Suci. Di Tanah Suci ini, Walang Sungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Sedangkan adiknya, Rara santang, berganti nama menjadi Hj. Syarifah Muda’im.

Hj. Syarifah Muda’im kemudian menikah dengan Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Kelak akan melahirkan Maulana Syarif Hidayatullah atau dikenal juga dengan nama Sunan Gunung Jati.

Walangsungsang sempat mukim selama tiga bulan di Tanah Suci. Saat itulah beliau belajar tasawuf dari Haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh.



Pangeran Cakra Buana


Kembali ke tanah air, Walangsungsang mendirikan rumah besar. Tapi, tak berapa lama kemudian, terdengar kabar bahwa kakeknya, Ki Gede Tapa (ayah dari Subanglarang) wafat. Walangsungsang mendapat warisan berupa harta dan tahta di wilayah Mertasinga (Nagari Singapura), yang sebenarnya jatuh ke Subanglarang, ibunya.

Sedangkan syahbandar Karawang dan pesantren Quro, diteruskan oleh Musanuddin, cicitnya. Musanuddin dikenal pula dengan beberapa nama, diantaranya, Lebe Musa, Lebe Uca, Syekh Bentong atau Syekh Gentong. Lebe adalah gelar dari masyarakat yang diberikan bagi seorang penghulu agung. (Versi lain mengatakan bahwa Syekh Gentong adalah anak angkat Syekh Quro. Sedangkan penghulu pertama di Karawang adalah Syekh Ahmad, anaknya yang lahir dari pernikannya dengan Retna Sundari.)

Walangsungsang tidak meneruskan kekuasaan di Mertasinga. Beliau memboyong harta warisannya ke Cirebon. Rumah besar yang didirikannya, dijadikan keraton, yang kelak dikenal sebagai Keraton Pakungwati. Walangsungsang pun membentuk pasukan, sebagai Pakuwuan yang berdaulat, yang diberi nama Nagari Carubanlarang. Sejak saat itu, namanya menjadi Pangeran Cakra Buana atau Cakra Bumi.

Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, merestui dengan memberikan gelar Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.

(Versi lain mengatakan bahwa Walangsungsang mendirikan rumah besar, bersamaan dengan membangun Masjid Sang Tajug Jalagrahan atau Pejalagrahan atau Pesanggrahan.)



Mbah Kuwu Sangkan


Kedatangan Syarif Hidayatullah menandai era baru kekuasaan dan penyebaran Islam di Jawa Barat.

Setelah berguru di berbagai negara, kemudian tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggantikan Syekh Datuk Kahfi.

Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakra Buana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten.

Sementara itu Pangeran Cakra Buana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Caruban ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pangeran Cakra Buana menjadi penasehat utama. Oleh masyarakat Cerbon, beliau masih dianggap sebagai kuwu sepuh, dan dikenal dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.